“PENJARA” HARUS TERUS BERUBAH

Rubrik Analisis Kriminalitas, Suara Pembaruan, 29 April 2009

Senin 27 April lalu, Sistem Pemasyarakatan Indonesia genap 45 tahun. Pada usia ini Pandangan publik terhadap pemenjaraan memang beragam. Namun perlu disadari, bahwa secara konseptual dan filosofis, sistem pemidanaan di Indonesia jauh lebih maju dari sistem pemenjaraan di banyak negara.

Perubahan sistem pemidanaan di Indonesia ke arah Pemasyarakatan pada hakekatnya merupakan perubahan ke arah sistem pemidanaan yang manusiawi dan melindungi HAM. Bahkan Pemasyarakatan dalam arti sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum yang berorientasi pada perlindungan HAM, khususnya hak-hak warga binaan Pemasyarakatan. Namun kenyataan sekarang ini, pelaksanaan sistem ini belum didukung aspek organisasi dan fasilitatif yang memadai serta adaptasi terhadap perkembangan pemidanaan di dunia.

Oleh karenanya, Pemasyarakatan tetap harus melakukan pembaharuan. Pembenahan aspek organisasi, sumber daya manusia, serta pilihan-pilihan kebijakan dalam mewujudkan apa yang telah dicita-citakan oleh Pemasyarakatan itu sendiri menjadi prioritas.

Telah disinggung sebelumnya, bahwa secara filosofis, Pemasyarakatan jauh lebih maju bila dibandingkan dengan sistem pemenjaraan yang hingga kini masih banyak dianut di berbagai negara. Filosofi reintegrasi sosial mengharuskan Pemasyarakatan membina bukan menghukum, serta proses pembinaannya berjalan dalam kerangka perlindungan hak-hak narapidana.

Namun demikian, perkembangan filosofi pemidanaan sekarang ini tetap mengharuskan Pemasyarakatan melakukan perubahan. Reintegrasi sosial telah mengharuskan Pemasyarakatan untuk menyelenggarakan proses pembinaan dengan keterlibatan aktif masyarakat. Perkembangan filosofi ke arah community based correction juga menjelaskan perlunya proses pemidanaan yang dilakukan di masyarakat itu sendiri. Meskipun dalam praktek masih terbatas pada narapidana dengan kriteria tertentu.

Selain itu, sejalan dengan karakteristik masyarakat timur yang menjunjung kolektifitas, mekanisme informal dalam penyelesaian masalah hukum juga mendapatkan konteksnya. Mekanisme informal ini sering dikenal dengan restorative justice. Di mana penyelesaian perkara mempertimbangkan kepentingan dari pihak-pihak yang terkait dengan perkara itu sendiri, yaitu pelaku, korban, dan masyarakat umumnya dengan penegak hukum sebagai mediator.

Selain dilihat dari aspek filosofis, pada level internasional telah ditetapkan sejumlah instrumen perlindungan hak-hak dari terpidana. Salah satunya adalah Standard Minimum Rules for the treatment of Prisoner (1955). Munculnya instrumen-instrumen HAM internasional ini secara langsung juga menjadi alasan bagi Pemasyarakatan untuk melakukan perubahan dalam aspek organisasional dan sumber daya manusia.

Selain instrumen HAM, perkembangan lainnya yang juga dapat dijadikan dorongan untuk perubahan adalah wacana dalam pengelolaan organisasi dan proses kebijakan dalam lembaga-lembaga pemerintah (birokrasi) dalam bentuk governance process. Wacana governance ini mendorong lembaga pemerintah dalam setiap proses kebijakan untuk membuka diri akan keterlibatan stakeholder lain yang juga memiliki kemampuan dalam mendukung upaya pemenuhan HAM dalam proses penegakan hukum. Seperti kalangan swasta dan masyarakat sipil. Selain itu governance process juga menegaskan perlunya perubahan proses kebijakan ke arah bottom up agar efektif dan sesuai dengan kebutuhan di tingkat pelaksana lapangan.

Dalam pengelolaan perubahan pemasyarakatan, khususnya dalam hal perlindungan HAM, hal pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan pemahaman dan kebutuhan bersama untuk berubah. Realitas bahwa pemenuhan hak-hak narapidana di Indonesia masih berhadapan dengan kendala-kendala makro struktural dan sumber daya manusia serta telah jamaknya dorongan-dorongan internasional dapat dijadikan titik tolak bahwa perubahan perlu dilakukan.

Kedua, secara substantif Pemasyarakatan perlu menjadikan upaya pemenuhan HAM narapidana sebagai prioritas dalam proses kebijakan. Pada tingkat makro, Departemen Hukum dan HAM perlu mempertimbangkan perubahan dalam struktur dan besaran anggaran untuk kebutuhan-kebutuhan dasar di tingkat unit pelaksana teknis. Seperti perbaikan kualitas makanan, kualitas pelayanan kesehatan, dan sarana fisik penting lainnya. Selain itu, Departemen juga perlu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang lebih intensif dan terukur untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan petugas pemasyarakatan. Namun karena terkait dengan struktur yang ada diatasnya, perubahan dalam aspek perencanaan dan penganggaran ini akan membutuhkan waktu yang lama.

Ketiga, untuk menunjang efektifitas perubahan, Pemasyarakatan perlu membuka diri (kemitraan) terhadap keterlibatan stakeholder baik dari unsur pemerintah sendiri maupun dari luar pemerintah. Sebagaimana disinggung sebelumnya, kendala anggaran sering menjadi alasan sulitnya Pemasyarakatan memenuhi hak-hak narapidana. Oleh karenanya, kemitraan diharapkan dapat menutupi kekurangan Pemasyarakatan di dalam upaya pemenuhan hak-hak narapidana.

Keempat, selain membuka diri dalam bentuk kemitraan dengan stakeholder lain di luar Pemasyarakatan, hal yang juga perlu dilakukan adalah keterbukaan dalam pengawasan eksternal untuk menjaga konsistensi Pemasyarakatan dalam pemenuhan hak-hak narapidana. Pengawasan eksternal tidak dapat lagi dipahami hanya sebagai suatu hal yang akan selalu menyudutkan posisi Pemasyarakatan. Di lain pihak, pengawasan eksternal sangat diperlukan untuk mengukur sudah sejauh mana perubahan dalam konteks pemenuhan hak-hak narapidana ini dilakukan.

Dari keempat aspek tersebut dapat diketahui adanya sejumlah hal mikro jangka pendek yang dapat diprioritaskan oleh Pemasyarakatan. Dalam manajemen perubahan, kemenangan-kemenangan cepat (quick wins) dapat dicapai dalam konteks mikro jangka pendek ini.

Adapun quick wins yang dimaksud adalah; pertama, pemenuhan hak-hak narapidana, serta pembaruan Pemasyarakatan secara keseluruhan akan lebih efektif bila berbentuk upaya kolaboratif (kemitraan). Kedua, dalam konteks hambatan-hambatan yang potensial muncul dalam mendorong perubahan makro di tingkat struktur dan proses kebijakan departemen, Pemasyarakatan pada dasarnya dapat membuat mekanisme sederhana namun efektif dalam proses pemenuhan hak, serta dalam proses pengawasan. Mekanisme sederhana namun efektif salah satunya dapat dilakukan dengan berbasis pada keluhan. Pemasyarakatan secara kolaboratif dengan stakeholder lainnya dapat membuat mekanisme penyampaian keluhan untuk tujuan identifikasi masalah serta dasar bagi intervensi.

Ketiga, basis perubahan harus berada di level organisasi direktorat jenderal Pemasyarakatan, dan pelaksana di level teknis, khususnya petugas. Keempat, untuk menunjang efektifitas penanganan masalah, Pemasyarakatan perlu mengembangkan sistem dokumentasi dan informasi yang efektif dan efisien untuk mendukung proses kebijakan dan evaluasinya. Dokumentasi dan informasi akan sangat bermanfaat dalam melihat pencapaian dalam proses perubahan, selain juga bermanfaat untuk monitoring publik serta penyusunan strategi jangka panjang.

One thought on ““PENJARA” HARUS TERUS BERUBAH

  1. kami salut dengan pendapat bapak dan menginspirasi kami, Insan Pemasyarakatan agar merubah paradigma lama yang selalu menjadikan napi sebagai obyek, saat ini kami sedang mengadakan pelatihan dan pemberdayaan narapidana di bidang jasa konstruksi, tindak lanjut MOU ditjenpas dgn BPK-SDM dept.PU, kebetulan lapas kami ditunuk sebagai Pilot Project… pelatihan telah berjalan untuk Operator Tower Crane, Tukang Kayu dan Tukang Batu.

    sedangkan sebagai tindak lanjut dalam rangka pemberdayaan narapidana kami undang beberapa pengusaha di bidang jasa konstruksi, ternyata dunia usaha dapat mengaprisiasi narapidana didalam proyek-2 mereka…, narapidana adalah subyek bukanlah obyek semata didalam melakukan pembinaan kemandirian… untuk itu saran dan usulan bapak kami harapkan, didalam pembinaan yang kami lakukan ini

Leave a comment