Hari ini, Selasa 20 Desember 2011, mulai jam 10 tadi, Departemen Kriminologi bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyelenggarakan diskusi dengan topik “Mencari Format Perlakuan Narapidana Terorisme”. Narasumber tamu yang diundang berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Search for Common Ground Indonesia. Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian diskusi dalam Pekan Anti Kekerasan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Kriminologi FISIP UI.
Diskusi ini dapat dikatakan menarik dan penting bila dilihat setidaknya dari tiga latar. Pertama, terorisme tetap menjadi persoalan yang masih mengancam kedamaian hidup di Indonesia. Kedua, dalam kenyataannya, hingga saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan belum memiliki format perlakuan yang jelas terhadap narapidana terorisme. Ketiga, adanya Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2011, meskipun tentang agenda pemberantasan korupsi, namun juga menegaskan perlunya Pemasyarakatan menyusun pola asesment, klasifikasi dan pola perlakuan yang khusus pada narapidana. Salah satunya adalah narapidana terorisme.
Saat ini, Pemasyarakatan memang telah memiliki instrumen yang mengatur bagaimana perlakuan terhadap kategori yang disebut dengan narapidana resiko tinggi. Namun demikian, salah satu kelemahan dari Prosedur Tetap Perlakuan terhadap Narapidana Resiko Tinggi tersebut adalah belum spesifiknya perlakuan tersebut diperuntukkan bagi narapidana terorisme. Selain itu, prosedur tersebut hanya bicara tentang perlakuan dari sisi keamanan. Meskipun di dalamnya juga disinggung tentang proses pembinaan, hanya minus substansi pembinaan.
Salah satu isu yang menarik di dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kriminologi tersebut adalah tentang deradikalisasi. Bagaimana mensinkronkan program pembinaan yang telah diselenggarakan dengan program deradikalisasi. Petrus Reinhard Golose, menjelaskan, inti dari program deradikalisasi adalah upaya meminimalisasi paham radikal dengan pendekatan multidisiplin. Dan tentunya perlu melibatkan keterlibatan banyak pihak. Namun demikian, isu ini masih menjadi pekerjaan rumah. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam, justru menolak ide deradikalisasi ini.
Saya sendiri berpendapat, pembinaan memang perlu dilakukan dalam konteks deradikalisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme adalah kejahatan yang sangat ideologis, sehingga upaya menanggulanginya juga perlu dilakukan dalam kerangka ideologis. Meskipun ini juga tidak mudah. Dalam diskusi ini, Search for Common Ground memberikan ilustrasi bagaimana sangat tertutupnya cara pandang narapidana teroris dalam diskusi tentang ajaran Islam. Pada sisi inilah sisi radikal itu terlihat. Radikal yang dimaksud dapat terlihat pada sisi eksklusifitas dan cenderung stigmatisasi “kafir” terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Di sinilah penolakan terhadap deradikalisasi terorisme salah alamat dan justru kontraproduktif. Yang ingin disasar oleh program deradikalisasi adalah upaya membuat pemahaman yang lebih inklusif, mau menerima perbedaan, dan tidak bermaksud sama sekali melakukan apa yang dikhawatirkan oleh sejumlah ormas dengan “pendangkalan akidah”.
Diskusi ini masih terlalu ambisius. Mencari format perlakuan ini adalah proses yang tidak mudah, dan ini menjadi PR banyak pihak