Analisis Kriminalitas Suara Pembaruan, 29 Oktober 2008
Tulisan kali ini tentang jalanan Jakarta, dan juga kota- kota lainnya di Indonesia. Mungkin lebih tepat disebut imbauan (baca: tuntutan) ketimbang analisis, karena tulisan ini hanya mengingatkan kita tentang bola panas atau bom waktu yang sangat berdampak pada kehidupan yang lebih makro.
Seorang senior saya di jurusan sering bertutur, agar Indonesia ini bisa tertib, harus dimulai dari jalanan. Saya kira ini bukan argumentasi prospektif yang kosong tanpa dasar karena masalah ini begitu nyata.
Saya yakin, semua yang berangkat ke tempat aktivitas pada hari ini sudah pasti menyaksikan masalah ini.
Selain jalan yang sudah tidak lagi mampu menanggung beban penambahan kendaraan yang sangat cepat setiap tahun sehingga kemacetan adalah hal yang biasa, juga otomatis menjadi beban pemerintah pusat dan daerah.
Pajak kendaraan sepertinya juga tidak memberikan kompensasi apa-apa terhadap beban yang bertambah tersebut. Satu hal lainnya, dan justru ini yang terpenting adalah perilaku pengguna jalan yang amat sangat tidak tertib.
Saya ingin mengajak kita melihat sejenak apa yang setiap detik terjadi di jalan raya.
Tingkah pola pengemudi khususnya, roda empat atau lebih (umum atau pribadi) dan roda dua sama saja.
Tertib Justru Salah
Tanpa perlu melakukan pengamatan terstruktur ala penelitian, setiap kita dapat mengidentifikasi banyaknya masalah yang terjadi di jalanan, sehingga jalanan tidak lagi “urat nadi” yang harusnya lancar, namun sebuah neraka yang menyesakkan. Tentang jalan yang sudah tidak mampu lagi menampung kendaraan mungkin sedikit dapat teratasi bila penggunanya mau tertib.
Celakanya, di jalanan Jakarta ketidaktertiban justru suatu perilaku yang wajar. Saya juga ingat dengan tulisan salah seorang kolega saya di rubrik ini, bagaimana hidup dengan penyimpangan adalah bentuk adaptasi yang wajar di Jakarta.
Besar anggapan, bahwa tertib mengikuti peraturan di jalan justru penyimpangan itu sendiri. Mungkin beberapa di antara Anda pernah mendapatkan bunyi klakson kendaraan di belakang saat di persimpangan meminta agar Anda maju, padahal lampu lalu lintas masih merah. Saat itu, Anda berusaha untuk tertib dengan berhenti tepat di garis batas yang berwarna putih itu.
Di beberapa tempat, kita dapat menjumpai sejumlah kendaraan umum (angkot atau bus kota) berhenti sembarangan, padahal tepat di pinggir jalan tertanam rambu dilarang berhenti. Di lain tempat banyak pengendara yang berputar arah sembarangan, berjalan melawan arus, roda dua yang naik ke trotoar yang harusnya untuk pejalan kaki, atau kebut dan bermanuver di jalan yang padat (biasanya juga roda dua).
Selain itu, ada juga ketidaktertiban berupa modifikasi kendaraan yang diharapkan berstandar kendaraan balap. Biasanya berbentuk modifikasi knalpot sehingga sangat bising atau modifikasi mesin agar semakin cepat.
Pertanyaannya, bukankah modifikasi seperti itu jelas memperlihatkan keinginan pengendaranya untuk balapan di jalanan? Kita mengenal pepatah yang mengatakan, biar lambat asal selamat! Pepatah ini tidak akan berlaku di jalanan. Selambat dan setertib apa pun berkendara di jalanan Jakarta sekarang ini, keselamatan jiwa tetap terancam. Sederhananya, kita hati-hati, tapi umumnya orang ceroboh, dan berpotensi menjadi pembunuh.
Agustus 2004, SP memberitakan lebih dari 15.000 orang korban setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas. April 2008, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengatakan, setiap tahun korban kecelakaan lalu lintas sekitar 30.000 orang, di mana rata-rata satu hari terjadi 83 kasus kecelakaan.
Data di wilayah Kepolisian Daerah Metro Jaya saja memperlihatkan, rentang jumlah korban meninggal dari 2001 sampai Juni 2008 berkisar antara 400 sampai 1.200 orang setiap tahun. Periode 2004-2007 adalah periode tertinggi korban meninggal dengan jumlah rata-rata lebih dari 1000 jiwa.
Kondisi seperti ini jelas memerlukan perhatian. Jumlah korban yang sangat besar dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kejahatan terjahat di Jakarta dewasa ini adalah perilaku tidak tertib di Jalanan. Kembali mengulangi yang disampaikan sebelumnya, hati-hati pun kita di jalanan belum tentu selamat.
Kebijakan Kriminal
Untuk mengantisipasi masalah ini beberapa hal perlu dilakukan. Bila penambahan volume kendaraan merupakan salah satu cikal bakal masalah, sebaiknya pemerintah perlu membuat kebijakan membatasi penggunaan kendaraan.
Membuat jalan baru jelas kebijakan yang mahal, selain juga sudah relatif sulit dilakukan di Jakarta yang semakin sempit. Kebijakan three in one sudah tepat. Namun, perlu diciptakan disinsentif bila sebuah keluarga memiliki kendaraan roda empat dan roda dua lebih dari satu.
Seperti memberikan beban pajak yang lebih besar atau membayar kompensasi kemacetan dalam besaran tertentu yang dihitung per hari per tahun.
Namun demikian, kebijakan penting yang perlu dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki kualitas pelayanan kendaraan umum, dengan memfasilitasi pengusaha angkutan untuk memperbaharui armada dan suku cadang, atau dengan menciptakan moda transportasi yang lebih masif dengan kualitas pelayanan yang terstandarisasi.
Kebijakan busway merupakan satu alternatif yang baik. Demikian pula dengan rencana pembangunan monorel, meskipun relatif mahal.
Pada tingkatan teknis, kebijakan Polda Metro Jaya yang mengharuskan kendaraan roda dua berjalan pada jalur khusus adalah kebijakan yang tepat. Namun sangat disayangkan, kebijakan ini seakan angin-anginan.
Kepolisian perlu tegas dalam mengatur lalu lintas. Khususnya menertibkan kendaraan yang tidak lagi sesuai dengan standar atau yang telah dimodifikasi setara kendaraan balapan.
Kepolisian juga harus lebih tegas terhadap setiap pelanggaran, tanpa kompromi. Polisi lalu lintas, untuk tujuan penjeraan diharapkan tidak lagi mau diajak berdamai.
Semua pelanggaran harus dilanjutkan ke pengadilan agar tercatat. Bila pelanggar tertilang kembali maka izin mengemudi yang dimilikinya harus dicabut.
Terkait dengan pengaduan, Polisi juga harus lebih merespons. Dalam program televisi, melalui pesan singkat kita sering melihat ada pengaduan pelanggaran lalu lintas, seperti misalnya berkendara melawan arus.
Namun, masalah ini tidak kunjung tertangani dengan baik oleh kepolisian. Pengalaman saya ketika berkendara dari rumah ke kampus di Depok, sudah banyak keluhan masyarakat lebih dari setahun terakhir terhadap banyaknya pengendara yang melawan arus sepanjang jalan Lenteng Agung Jakarta Selatan, namun hingga kini jumlahnya justru semakin bertambah.
Terakhir, rasanya tidak adil bila iklan motor yang diperlihatkan di televisi dewasa ini tidak dikritisi.
Bila kita perhatikan, iklan-iklan tersebut justru berlomba-lomba memperlihatkan kelebihan masing-masing. Hampir tidak ditemukan, seiring iklan tersebut, ada ajakan untuk safety riding (berkendara yang aman). Bahkan, ada iklan yang justru memperlihatkan bagaimana satu motor dapat berlari sangat kencang hingga meruntuhkan bangunan, dan itu menjadi sebuah kebanggaan.
Kembali ke perkataan senior saya tadi, Indonesia tidak akan pernah tertib bila jalanannya tidak tertib. Mungkin sama juga dengan mengatakan, bagaimana mau menanggulangi kejahatan bila “kejahatan terjahat” justru perilaku orang yang dianggap “wajar” di jalanan.