Kejahatan Jelang Lebaran

Sebenarnya cukup berlebihan bila mengatakan kejahatan selalu meningkat selama bulan puasa dan terutama menjelang lebaran. Perlu dibuktikan secara statistik, apakah memang kenaikan tersebut adalah pola rutin, dan naiknya pun signifikan.

Namun demikian, satu hal memang cenderung terjadi selama bulan puasa dan menjelang lebaran adalah peningkatan potensi kejahatan dari sisi korban. Tingkat konsumsi yang tinggi, mulai dari skala kecil seperti berbelanja di pasar untuk kebutuhan sahur atau berbuka dan kebutuhan lebaran hingga pembelian barang konsumtif lainnya seperti elektronik, menyebabkan meningkatnya aktivitas di pasar, mall atau tempat berjualan lainnya. Kebutuhan lainnya, seperti pembayaran gaji pegawai dan tunjangan hari raya, membuat beberapa perusahaan kecil menengah yang belum menggunakan sistem transfer harus mencairkan uang dalam jumlah yang relatif banyak. Peluang terjadinya kejahatan tentu akan lebih tinggi dari biasanya.

Rumah yang ditinggal mudik selama lebaran, di tambah dengan jumlah pemudik yang tidak sedikit sehingga tidak sedikit pula rumah yang kosong, membuka kesempatan yang lebih tinggi untuk kejahatan.

Dalam pandangan kriminologi, kejahatan berkaitan dengan properti sebenarnya merupakan kejahatan yang sangat sering terjadi di kota-kota besar. Bahkan dapat dikatakan tipologi kejahatan ini adalah kejahatan yang normal terjadi di kota. Bila melihat statistik kejahatan di Jakarta misalnya, kasus 362 KUHP (pencurian) dan 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan atau perampokan) adalah dua yang selalu masuk kejahatan dengan jumlah tertinggi setiap tahun.

Ciri khas kejahatan terkait harta benda (property related crime) ini dapat digambarkan melalui model crime triangle (segitiga kejahatan) yang dijelaskan oleh Marcus Felson. Menurutnya, kejahatan adalah peristiwa yang sangat kontekstual. Terjadinya dilatari oleh interaksi dari tiga faktor (oleh karenanya disebut dengan segitiga), yaitu motivated offender (pelaku yang memiliki motif), suitable target (target yang tepat), dan uncapable guardianship (penjagaan yang tidak baik). Sederhananya, kejahatan tidak hanya terjadi karena adanya pelaku yang memiliki niat, namun karena adanya kesempatan.

Beberapa hal sederhana yang saya jelaskan di atas adalah bentuk-bentuk target tepat yang potensial. Bila ditambahkan dengan menimnya penjagaan dari kepolisian ataupun mekanisme pengawasan lainnya yang dibangun secara informal, termasuk secara non formal oleh masyarakat, maka pelaku-pelaku yang memiliki motif akan menemukan sebuah kalkulasi yang menguntungkan bagi dilakukannya kejahatan.

Oleh karenanya, yang diperlukan untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang potensial muncul selama bulan puasa dan menjelang lebaran ini adalah kepedulian warga masyarakat terhadap keselamatan dirinya sendiri serta harta bendanya. Memastikan rumah terkunci dengan baik, melaporkan kepada satuan pengamanan di lingkungan rumah, hingga menyampaikan “titip rumah” kepada tetangga yang tidak mudik adalah langkah sederhana yang sangat mudah dilakukan.

Beberapa hal lain yang membutuhkan biaya ekstra adalah menambah teknologi di dalam rumah yang mampu membuat lampu di rumah hidup sesuai dengan waktu yang ditentukan, memasang cctv, atau memasang alaram rumah untuk memberitahu bila terjadi pembobolan.

Menyerahkan sepenuhnya upaya pengawasan dan pencegahan kejahatan kepada kepolisian tidak akan efektif, mengingat keterbatasan personil serta sumber daya lainnya yang dibutuhkan oleh kepolisian. Menjelang lebaran dan menjelang mudik, tidak ada salahnya bagi ketua rukun tetangga membangun insiatif untuk membuat mekanisme pengawasan mandiri.

Selamat berpuasa, selamat mudik, dan selamat lebaran

-iqraks-

Teror Viral

Menyebarkan hingga menjadi viral foto-foto kejadian bom di Kampung Melayu hanya akan membantu pelaku teror mencapai tujuannya. Tujuan kejahatan terorisme bukan meledakkan tempat atau membunuh korban, namun dampak yang muncul setelah itu, yaitu ketakutan yang muncul di masyarakat.
Penyebaran foto, termasuk terlalu berlebihan memberitakan kejadian justru mengamplifikasi ketakutan yang semestinya dapat ditahan.

Ada kebiasaan setelah usai aksi teror akan muncul klaim yang dibuat oleh mereka yang menyebut dirinya pelaku yang bertanggung jawab. Tujuannya adalah, selain menegaskan eksistensi, mereka juga ingin meningkatkan level kekhawatiran di masyarakat. Dalam skala tertentu akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik secara makro.

Saya menyarankan agar kita tidak justru “membantu” pelaku mencapai tujuannya dengan mengamplifikasi ketakutan

Iqrak Sulhin
Kriminolog UI

Sulitnya Mengungkap Teror Terhadap Novel

Cukup lama setelah Novel Baswedan, penyidik KPK, disiram air keras di pagi subuh, polisi belum kunjung berhasil mengungkap pelaku dan motifnya. Dalam pandangan saya, beberapa sebab polisi sulit mengungkap kasus ini. Pertama, polisi kekurangan petunjuk. Petunjuk biasanya diperoleh dari keterangan saksi-saksi, termasuk saksi korban. Dalam kasus Novel, saksi mungkin tidak bisa memberikan deskripsi yang jelas mengenai ciri pelaku, termasuk atribut lain yang menempel pada saksi, seperti kendaraan, pakaian, atau simbol-simbol tertentu. Saksi korban pun saya duga memiliki kesulitan yang sama. Situasi yang masih gelap pada saat kejadian semakin menyulitkan. Rekaman CCTV di daerah di sekitar tempat tinggal Novel juga tidak memberikan petunjuk yang jelas.

Kedua, air keras merupakan bahan yang sangat mudah diperoleh di toko kimia. Di Indonesia, untuk bahan-bahan yang selama ini sering digunakan di dalam kekerasan, sudah semestinya di dalam pembelian dilakukan pendataan. Karena penggunaan air keras bisa dianggap bukan untuk keperluan keseharian. Untuk pembelian besar yang dilakukan korporasi, mungkin tercatat, namun tidak untuk pembelian skala kecil. Hal ini turut mempersulit pelacakan.

Dalam banyak penelitian kriminologi, kejahatan kekerasan, hingga pembunuhan, biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki hubungan dengan korban. Baik dalam konteks keluarga, pertemanan, rekan kerja, atau tetangga. Biasanya dipicu oleh sesuatu yang kemudian memunculkan dendam atau sakit hati. Oleh karenanya, bila kekerasan (seperti pembunuhan) terjadi, polisi akan mengembangkan teori bahwa pelaku adalah mereka yang dikenal oleh korban. Pelacakan bisanya dilakukan melalui keterangan saksi hingga rekam komunikasi terakhir, seperti SMS, chat, atau email.

Kasus Novel saya kira tidak berkaitan dengan motif interpersonal tersebut di atas. Namun dilatarbelakangi oleh sesuatu yang lebih besar. Patut diduga kekerasan yang dialaminya berkaitan dengan statusnya sebagai penyidik di KPK yang tengah memproses kasus-kasus besar. Pelaku yang menyiramkan air keras patut diduga adalah orang suruhan, bukan pelaku sebenarnya yang memiliki motif.

Beban saat ini ada di kepolisian, karena bila tidak terungkap, maka ini akan jadi preseden yang tidak baik bagi penegakan hukum di Indonesia

Iqrak

POLISI DALAM PEMILU

(Dimuat di Majalah Kompolnas, edisi Juli 2013)

Judul tulisan ini sebenarnya ingin memberi pemaknaan yang jamak mengenai posisi kepolisian di dalam tahun politik, yaitu periode menjelang, saat, dan pasca pemilihan umum hingga terbentuknya kekuasaan legislatif baru atau terpilihnya presiden baru. Berbagai artikel telah menjelaskan kompleksitas relasi antara pemilu dengan fungsi kepolisian. Tidak hanya dipandang sebagai kekuatan yang difungsikan untuk pengamanan penyelenggaraan pemilu itu sendiri, namun lebih dari itu, kepolisian dapat menjadi subjek yang masuk dalam pusaran agenda politik itu sendiri.

Satu tahun ke depan Indonesia akan disibukkan dengan agenda politik besar pemilihan umum. Bahkan sebelum itupun, hampir setiap tahun dilakukan pemilihan kepala daerah/gubernur yang juga menyerap energi publik, tidak terkecuali kepolisian. Dalam setiap pemilihan tersebut, tuntutan terhadap maksimalisasi kinerja kepolisian meningkat. Terutama di dalam menjaga keamanan masyarakat dari ekskalasi tensi politik elit yang sering menjalar ke akar rumput. Sangat jamak, bahkan seakan telah menjadi tradisi politik lokal, dalam setiap proses pemilihan kepala daerah selalu diwarnai oleh letupan-letupan kecil maupun besar yang mengiringi persaingan elit dalam perebutan kekuasaan. Bahkan tidak jarang pula berujung pada munculnya korban materi maupun jiwa.

Pengendalian situasi ini tentu tidak hanya menjadi beban kepolisian, karena pada dasarnya adab dalam politik hakikinya adalah damai dan sepenuhnya merupakan pilihan-pilihan yang beretika dari elit dan massa. Menggunakan pemikiran Jurgen Habermas, politik seharusnya persaingan sehat pada ranah publik, dengan kebebasan berekspresi, namun beretika, tidak memaksakan kehendak, terlebih kekerasan. Kesadaran elit dan massa karenanya merupakan kunci demokrasi yang sehat, selain ditunjang pula oleh aturan main atau administrasi yang jelas dan adil. Kepolisian karenanya adalah agen yang berada di luar arena, yang murni bertindak dalam pengamanan, mengawal mekanisme administratif pemilihan itu sendiri.

Namun, kenyataan politik di Indonesia belum sepenuhnya memperlihatkan kedewasaan berdemokrasi. Hal yang membuat kepolisian tidak hanya disibukkan dengan pengerahan kekuatan untuk pengendalian massa atau mendeteksi potensi gangguan keamanan. Namun juga berpotensi diseret dalam pusaran politik itu sendiri. Walker dan Waterman (2008) menjelaskan, situasi politik, khususnya pemilihan umum, dapat mempengaruhi sikap publik terhadap polisi, sekaligus mempengaruhi perilaku polisi itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan di Costa Rica, Mexico, dan Amerika Serikat, diketahui bahwa pemolisian dapat menjadi agenda politik (dipolitisasi) karena persoalan penegakan hukum masuk dalam kampanye partai. Pada titik inilah muncul tuntutan terhadap netralitas dan profesionalitas kepolisian di dalam proses politik pemilihan umum. Walker dan Waterman juga memberikan analisasi bahwa, perkembangan demokrasi di sebuah negara turut pula mempengaruhi performa kepolisian, yang kemudian dapat berimplikasi terhadap sikap kepolisian itu sendiri dalam politik. Performa kepolisian di sebuah negara demokrasi baru sering merupakan cerminan dari belum terkonsolidasinya manajemen negara secara keseluruhan.

Belum berjalan maksimalnya prinsip-prinsip demokrasi dan kepemerintahan yang baik dalam sebuah negara sangat rentang membawa institusi kepolisian yang seharusnya imparsial masuk ke dalam arus politik dan berpihak. Situasi yang seharusnya tidak boleh terjadi untuk menciptakan masyarakat yang aman dan terlindunginya kepentingan banyak pihak. Keberpihakan institusi negara seperti kepolisian tentu akan menjauhkan realita dari mimpi demokrasi.
Analisa Walker dan Waterman ini memberi ruang analisa yang lebih luas dari sekedar bagaimana polisi berperan dalam pengamanan pemilihan umum. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, diskusi tentang polisi dan pemilu memiliki makna yang jamak. Meskipun bila direduksi mengerucut pada dua isu besar, yaitu profesionalitas dan netralitas. Profesionalitas tentunya terkait dengan fungsi pemolisian di dalam pemilu, sedangkan netralitas terkait dengan jarak politik lembaga kepolisian dengan aktor-aktor politik yang bertarung di dalam pemilihan umum, termasuk jarak kepolisian itu sendiri dengan proses politik.

Pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil jelas merupakan indikator negara demokratis yang dewasa. Oleh karenanya, untuk menjamin kebebasan, kejujuran, dan keadilan tersebut diperlukan perangkat administrasi dan hukum yang dapat menjamin keamanan setiap tahapan proses pemilihan umum. Salah satunya adalah peran kepolisian dalam menjamin keamanan dan menindak pelanggaran yang berunsur pidana sesuai undang-undang. Di negara-negara demokratis maju sekalipun, pemilihan umum bukanlah proses yang dapat bebas 100% dari permasalahan, penyimpangan, hingga yang memiliki unsur pidana.

Penelitian Topo Santoso, et.al (2006) mencatat sejumlah tindak pidana yang terjadi dalam pemilihan umum tahun 2004, di antaranya adalah; dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih, pemalsuan ijazah calon, penghinaan terhadap calon lain, politik uang, penghasutan dan adu domba, penyalahgunaan kartu pemilih, hingga mengubah hasil rekapitulasi hasil suara. Dalam analisanya, pelanggaran-pelanggaran seperti ini masih terjadi pada tahun 2009 dan juga berpotensi terjadi pada tahun 2014. Dalam pengalaman pemilihan kepala daerah yang hampir setiap tahun dilakukan di Indonesia, jenis pelanggaran tersebut kerap terjadi dan menjadi faktor yang dapat meningkatkan ekskalasi konflik antar elit yang menjalar ke massa. Pengalaman pemilihan umum di Indonesia sejak 1999 termasuk pemilihan-pemilihan kepala daerah cukup memberi preseden yang seakan menjalar dari satu waktu dan tempat ke waktu dan tempat yang lain. Di sini, peran kepolisian menjadi sangat penting dan sentral.

Administrasi dan pengawasan pemilu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak akan dapat bekerja maksimal tanpa peran kepolisian dalam mencegah dan melakukan penindakan terhadap tindak pidana pemilu. Nota Kesepahaman antara POLRI dengan KPU untuk pengamanan penyelenggaraan pemilu pada Jaruani 2013 lalu adalah bukti pentingnya kerjasama tersebut. KPU dan POLRI menyadari bahwa setiap tahanan pemilu selalu memiliki potensi gangguan keamanan. Profesionalitas kepolisian, melalui peran bimbingan masyarakat dan intelijen, diperlukan untuk menyusun langkah antisipasi dan deteksi dini.
Namun demikian, profesionalitas pada dasarnya memerlukan netralitas. Walker dan Waterman telah memberikan analisa bagaimana rentannya institusi kepolisian dalam momen pemilihan umum untuk masuk ke dalam pusaran arus politik itu sendiri. Sebagai institusi penegak hukum, profesionalitas kepolisian diperlukan untuk menjamin pemilu yang bebas, jujur, adil. Selain memiliki kewenangan secara hukum untuk melakukan penindakan, kemampuan personil kepolisian dalam deteksi dini dan penyadaran masyarakat agar konformis terhadap hukum merupakan modal yang menentukan kesuksesan pesta demokrasi untuk menghasilkan legislator dan pemimpin baru. Namun, profesionalitas tidak akan kontributif bila tidak disertai dengan netralitas.

Netralitas dalam hal ini dimaknai sebagai jarak yang tegas dari kepolisian dengan aktor-aktor yang bertarung dalam pemilu dan tentunya jarak dengan proses politik itu sendiri. Netralitas ini ditandai dengan tidak bertindak diskriminatif dan menjalankan tugas dengan proporsional. Seperti meneruskan pemeriksaan dugaan-dugaan pelanggaran yang telah diidentifikasi sebelumnya oleh bawaslu. Pada hari ulang tahun POLRI ke-67, 1 Juli 2013 lalu, presiden menekankan kembali agar POLRI menjunjung tinggi kode etik dalam tugas serta memberikan pelayanan publik yang lebih responsif dan profesional. Instruksi ini tentu bukan tanpa alasan mengingat masih banyaknya kasus pelanggaran etika anggota kepolisian yang kasat mata bagi publik. Hal yang tentu dikhawatirkan dapat mempengaruhi profesionalitas dan netralitas kepolisian di dalam momen besar pemilihan umum. Dalam kerangka berfikir Evans, et.al (1992), profesionalisme dan netralitas kepolisian ini dapat ditandai dengan sikap yang responsif, tidak pasif. Tidak hanya dalam penindakan yang tidak membedakan kasus per kasus atau kelompok per kelompok, namun juga dalam langkah antisipasi terhadap potensi-potensi gangguan keamanan.

Bila menggunakan kerangka berfikir Evans, et.al ini, dapat dimaknai bahwa sikap responsif kepolisian dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi bimbingan dan penyuluhan yang memberi ruang interaksi lebih luas bagi kepolisian untuk tidak hanya menghimbau namun mendialogkan sejumlah persoalan yang nantinya dapat diantisipasi secara bersama dengan masyarakat. Seperti mengajak elit untuk dapat lebih arif dalam berkompetisi sehingga tidak justru menjadi pemicu bentrok yang tidak perlu di tingkat akar rumput, sebagaimana jamak diperlihatkan oleh pemilihan kepada daerah di Indonesia setiap tahunnya. Peran partai politik dan elit sangat krusial dalam tradisi politik patron-klien di Indonesia, sehingga responsifitas kepolisian dapat dimulai jauh sebelum momen pemilihan tersebut berlangsung dengan mengajak elit untuk berkompetisi dengan beretika.

Rentang waktu hingga pertengahan 2014 nanti merupakan waktu yang sangat krusial bagi kepolisian untuk mulai menyusun atau merevisi langkah-langkah strategis untuk mengamankan tahun politik ini. Selain meningkatkan kembali profesionalitas, kepolisian perlu menjalankan strategi-strategi yang tidak hanya bersifat umum dan normatif, namun juga mengoptimalkan peran-peran handal anggota pada tingkat lokal. Walker dan Waterman turut merumuskan pemahaman bahwa kepolisian pada dasarnya institusi yang lokal, non partisan yang hanya melaksanakan fungsi melayani dan melindungi. Dalam kerangka ini, kepolisian akan menjadi institusi yang lebih responsif dan tidak terbawa oleh arus politik.

Perlakuan Teroris

Hari ini, Selasa 20 Desember 2011, mulai jam 10 tadi, Departemen Kriminologi bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyelenggarakan diskusi dengan topik “Mencari Format Perlakuan Narapidana Terorisme”. Narasumber tamu yang diundang berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Search for Common Ground Indonesia. Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian diskusi dalam Pekan Anti Kekerasan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Kriminologi FISIP UI.

Diskusi ini dapat dikatakan menarik dan penting bila dilihat setidaknya dari tiga latar. Pertama, terorisme tetap menjadi persoalan yang masih mengancam kedamaian hidup di Indonesia. Kedua, dalam kenyataannya, hingga saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan belum memiliki format perlakuan yang jelas terhadap narapidana terorisme. Ketiga, adanya Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2011, meskipun tentang agenda pemberantasan korupsi, namun juga menegaskan perlunya Pemasyarakatan menyusun pola asesment, klasifikasi dan pola perlakuan yang khusus pada narapidana. Salah satunya adalah narapidana terorisme.

Saat ini, Pemasyarakatan memang telah memiliki instrumen yang mengatur bagaimana perlakuan terhadap kategori yang disebut dengan narapidana resiko tinggi. Namun demikian, salah satu kelemahan dari Prosedur Tetap Perlakuan terhadap Narapidana Resiko Tinggi tersebut adalah belum spesifiknya perlakuan tersebut diperuntukkan bagi narapidana terorisme. Selain itu, prosedur tersebut hanya bicara tentang perlakuan dari sisi keamanan. Meskipun di dalamnya juga disinggung tentang proses pembinaan, hanya minus substansi pembinaan.

Salah satu isu yang menarik di dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kriminologi tersebut adalah tentang deradikalisasi. Bagaimana mensinkronkan program pembinaan yang telah diselenggarakan dengan program deradikalisasi. Petrus Reinhard Golose, menjelaskan, inti dari program deradikalisasi adalah upaya meminimalisasi paham radikal dengan pendekatan multidisiplin. Dan tentunya perlu melibatkan keterlibatan banyak pihak. Namun demikian, isu ini masih menjadi pekerjaan rumah. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam, justru menolak ide deradikalisasi ini.

Saya sendiri berpendapat, pembinaan memang perlu dilakukan dalam konteks deradikalisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme adalah kejahatan yang sangat ideologis, sehingga upaya menanggulanginya juga perlu dilakukan dalam kerangka ideologis. Meskipun ini juga tidak mudah. Dalam diskusi ini, Search for Common Ground memberikan ilustrasi bagaimana sangat tertutupnya cara pandang narapidana teroris dalam diskusi tentang ajaran Islam. Pada sisi inilah sisi radikal itu terlihat. Radikal yang dimaksud dapat terlihat pada sisi eksklusifitas dan cenderung stigmatisasi “kafir” terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.

Di sinilah penolakan terhadap deradikalisasi terorisme salah alamat dan justru kontraproduktif. Yang ingin disasar oleh program deradikalisasi adalah upaya membuat pemahaman yang lebih inklusif, mau menerima perbedaan, dan tidak bermaksud sama sekali melakukan apa yang dikhawatirkan oleh sejumlah ormas dengan “pendangkalan akidah”.

Diskusi ini masih terlalu ambisius. Mencari format perlakuan ini adalah proses yang tidak mudah, dan ini menjadi PR banyak pihak

Tentang Remisi

Saya pada prinsipnya mendukung gebrakan kementerian hukum dan HAM dalam moratorium (atau dalam bahasa lain sering disebut dengan pengetatan remisi). Namun yang bermasalah adalah belum ada payung hukum yang kuat untuk kebijakan tersebut. Pantas saja anggota DPR pada akhirnya berniat melakukan hak interpelasi.

Hanya saja, semua pihak perlu menyadari bahwa salah satu cara untuk memberikan “keadilan bagi masyarakat” adalah dengan memperketat pemberian remisi, pembebasan bersyarat, bahkan cuti kepada narapidana kejahatan luar biasa, seperti korupsi, terorisme dan pengedar narkoba. Kunci awalnya memang ada di hukum pidana. Bila ingin keadilan itu ditegakkan, hemat saya seharusnya pidana bagi narapidana kejahatan luar biasa ada batas minimumnya. Tidak serta merta diberikan pada hati nurani hakim, yang hingga saat inipun banyak yang diragukan oleh publik. Upaya pengetatan ini tidak bisa dipahami sebagai upaya membuat jera. Pemahaman ini salah karena pembuktian ilmiah memperlihatkan, berat/ringan pidana tidak ada hubungannya dengan takut atau tidaknya seseorang untuk melakukan perbuatan pidana. Bilapun ada hubungan, itu berlaku temporer, bahkan tidak jarang itu hanya seperti “tiarapnya” penjahat untuk waktu tertentu dan kemudian beraksi kembali karena pada saat itu mereka sudah mengetahui bagaimana cara “beradaptasi” terhadap hukum pidana baru tersebut.

Satu hal lain yang penting untuk dipahami. Dalam perlakuan narapidana di penjara, harus dibedakan antara apa yang disebut dengan “hak” dan apa yang disebut dengan “privilege (hak istimewa”. Yang dimaksud dengan hak, yang kemudian diatur secara internasional dengan standar minimum, adalah sesuatu yang bersifat harus diberikan, tidak mempertimbangkan apakah seseorang narapidana bersikap baik atau tidak selama pemenjaraan. Misalnya, hak untuk tidak disiksa, hak untuk mendapatkan makanan, air bersih, hak atas lingkungan sel yang sehat, hak untuk informasi, dan lainnya.

Sementara privilege adalah “hak” yang diberikan dengan syarat. Yaitu bila seorang narapidana berkelakuan baik. Dengan kata lain, adalah salah bila mengatakan pengetatan atau moratorium remisi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Karena remisi bukanlah hak, namun privilege. Masalahnya, UU Nomor 12 Tahun 1995 telah secara salah memahami remisi sebagai hak. Menurut saya, dalam perubahan undang-undang ini ke depan, tentang remisi tidak lagi dipahami sebagai hak.

SISWA “ANARKI” ??

Aksi pengeroyokan wartawan oleh siswa SMU 6, senin 19 September lalu masih hangat dibicarakan. Wajar bila publik mengutarakan keprihatinan terhadap aksi siswa tersebut. Namun ada hal yang terlupakan oleh media dan publik.

Bahwa ada keinginan untuk meneruskan persoalan ini pada ranah hukum adalah sebuah kewajaran, mengingat korban berhak atas reaksi seperti itu. Hanya saja, menurut hemat saya, ada upaya dramatisasi yang dilakukan oleh media massa. Media seperti paham betul bahwa mereka memiliki kuasa dalam penggiringan opini publik, sehingga hampir setiap hari kejadian tersebut dibahas, disertai oleh penayangan gambar “keberingasan” siswa pada peristiwa itu.

Kita harusnya paham, bahwa dramatisasi tindakan yang memang salah dari siswa itu justru kontraproduktif terhadap penyelesaian masalah ke depan. Yang potensial muncul di publik adalah semakin menguatnya stigma bahwa siswa sekolah tersebut adalah siswa yang anarkis dan brutal. Terlebih publik diberitahu berulang-ulang mengenai riwayat para siswanya yang sering melakukan tawuran dengan sekolah tetangganya.

Bila stigma ini menguat, para siswa bisa meresponnya dalam bentuk yang justru negatif. Yaitu menginternalisasi anggapan atau stigma sebagai siswa yang bringas tersebut dan menganggap dirinya sebagai pribadi-pribadi yang sudah sewajarnya selalu berbuat demikian karena sudah kepalang tanggung. Inilah yang berbahaya. Stigma akan menciptakan image diri yang negatif, yang pada akhirnya memperbesar kemungkinan siswa untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih serius daripada apa yang mereka perlihatkan Jumat dan senin lalu itu.

Semoga kawan-kawan wartawan bisa menahan diri dan mulai menurunkan pemberitaan yang justru menyejukkan suasana. Bila proses hukum diteruskan, saya berharap sebaiknya dilakukan dengan jalan di luar peradilan pidana saja. Perilaku pelanggaran oleh anak/remaja adalah bagian dari upaya mereka membentuk dan menunjukkan identitas. Dalam bahasa umumnya, adalah upaya mereka mencari jati diri. Sehingga tindakan mereka itu lebih baik dianggap sebagai sesuatu yang belum mereka pahami seutuhnya dari sisi rasionalitas dan konsekuensinya.

Semoga menjadi pelajaran bagi semua.

TEORI KONSPIRASI, HIDUP DI ANTARA DUGAAN DAN KENYATAAN

Majalah INTISARI, Februari 2010
Oleh Tjahjo Widyasmoro

Ketika masyarakat tidak puas dengan kenyataan yang mereka saksikan, mereka cenderung membuat penjelasan-penjelasan sendiri sesuai pemikiran masing-masing. Lahirlah teori konspirasi, yang meyakini suatu peristiwa ganjil pasti dilatar belakangi persekongkolan kuat di belakangnya. Tapi harus berhati-hati, karena tidak selalu apa yang kita pikirkan itu benar.

Hanya satu jam, setelah Presiden Amerika Serikat ke-35, John F. Kennedy, mati terbunuh, 22 November 1963, polisi berhasil menangkap pelakunya. Lee Harvey Oswald, demikian nama pria 24 tahun yang dituduh menembakkan senjata laras panjang dari lantai enam sebuah gedung di Dallas, Texas. Dua peluru menembus leher dan kepala belakang Kennedy yang kala itu sedang berada di sebuah mobil atap terbuka.

Benarkah dia pelakunya? Tak ada jawaban pasti, lantaran Oswald juga mati terbunuh dua hari kemudian. Ketika akan dipindahkan dari kantor polisi ke penjara, Jack Ruby, seorang pemilik klab malam yang mengaku marah atas kematian Kennedy, menembak Oswald. Pembunuhan terjadi di hadapan puluhan polisi dan disaksikan jutaan pemirsa karena disiarkan langsung oleh televisi.

Kelanjutan kisah dari peristiwa pembunuhan Presiden AS paling menghebohkan itu kemudian mirip film-film spionase. Pemerintah AS sempat dianggap tidak serius menanganinya. Apalagi tersiar kabar burung tentang saksi-saksi yang meninggal atau hilang. Termasuk “Babushka Lady”, julukan sesosok wanita misterius berjas panjang warna coklat dengan scarf di kepala (babushka – dalam bahasa Rusia berarti nenek-nenek yang biasa memakai scarf) yang terlihat terus memotret di lokasi.

Dari sini mulai muncul dugaan bahwa pasti ada “sesuatu” di balik pembunuhan Kennedy. Ada yang berteori, peristiwa ini adalah buah persekongkolan di pemerintahan AS sendiri. Kemudian Uni Soviet, lalu Mafia Italia, malah belakangan Kuba sempat disebut-sebut mendalanginya. Tapi ada juga yang percaya, ehem jangan tertawa, Kennedy tidak mati. Melainkan dibawa oleh makhluk luar angkasa. Jadi, ada apa sesungguhnya?

Berawal dari dugaan
Wajar jika segala misteri di balik pembunuhan Kennedy kemudian memunculkan penjelasan-penjelasan, lebih tepatnya dugaan-dugaan, tentang segala kemungkinan di balik semua itu. Penjelasan yang dalam istilah populer sekarang disebut teori konspirasi itu, sekilas terkesan ilmiah. Masuk akal karena masyarakat melihat keping-keping kebenaran di dalamnya.

Situs internet Wikipedia, menjelaskan bahwa teori konspirasi adalah upaya-upaya untuk menjelaskan bahwa penyebab utama dari satu atau rangkaian peristiwa sebenarnya sudah direncanakan diam-diam oleh orang-orang, kelompok atau organisasi yang sangat berpengaruh. Biasanya terkait peristiwa-peristiwa politik, sosial, atau sejarah.

Negeri kita juga bertabur peristiwa besar atau kecil yang kemudian melahirkan teori-teori itu. Seperti misalnya peristiwa G30S (1965), Malari (1975), Tanjung Priok (1984), serta beraneka konflik seperti di Ambon, Poso, atau kerusuhan Mei 1998. Meski ada penjelasan dari pemerintah atau para pelakunya sudah masuk penjara, tapi di masyarakat tetap beredar versi tidak resmi. Kisah ini malah lebih seru karena komplit dengan bermacam bumbu.

Iqrak Sulhin, pengajar di Departemen kriminologi FISIP Universitas Indonesia, mengakui teori konspirasi sangat menarik disimak karena bisa menjelaskan apa saja. Secara metodologis, teori ini juga bisa menghubungkan banyak faktor. Ketika dihubung-hubungkan, faktor-faktor itu terasa begitu logis dan seakan-akan layak dipercaya. Orang Jawa punya istilah: uthak athik gathuk, artinya setelah diutak-atik ternyata pas. “Karena itu masyarakat menyukainya,” katanya tentang teori yang sifatnya tidak akademis ini.

Untuk membuktikan teori konspirasi tidaklah mudah, kalau memang tidak bisa dikatakan tidak mungkin. Sebab rujukannya hanyalah rumor-rumor yang beredar di masyarakat juga. Perkiraan-perkiraan ini tidak jelas dasarnya. Lebih parah lagi jika sumbernya berupa ramalan-ramalan dari mulut seseorang yang melakoni kehidupan klenik alias paranormal.

Rumit jadi sederhana
Teori konspirasi menjadi pembicaraan serius tatkala AS kecolongan oleh serangan teroris, 11 September 2001, yang merobohkan dua gedung kembar WTC di New York. Peristiwanya cuma beberapa menit, tapi dampak masih terasa sampai hari ini, setelah Presiden George W. Bush menggali kapak perang dan memburu kalangan yang disebutnya “teroris”. Perang yang berlangsung di hampir seluruh belahan bumi itu (termasuk Indonesia) malah menyulut munculnya teori konspirasi bahwa Bush mencari pembenaran dari peristiwa 9/11 untuk menjalankan agendanya sendiri.

Teori ini menjadi pembahasan serius setelah Mathias Brockers, seorang jurnalis dan editor dari Jerman menulis buku Conspiracies, Conspiracy Theories and the Secrets of 9/11 (2001). Meski tidak hadir dari kalangan akademisi, pemikiran Brockers sempat menjadi perdebatan sengit kala itu. Sebagai seorang wartawan, ia memang memiliki idealisme bahwa jika tidak ada bukti yang definitif, maka kebenaran harus diuji berulang-ulang.

Dipicu pemikiran Brockers, masyarakat AS mendengar suatu informasi liar.Konon, saat terjadinya serangan teroris, banyak pekerja yang terlambat datang ke kantor atau malah tidak masuk kerja. Beberapa agenda pertemuan penting di WTC juga ditunda. Ternyata hal itu telah menyelamatkan mereka dari serangan. Apalagi dibumbui bahwa mereka berhubungan langsung dengan kepentingan Yahudi di AS. Jadinya, warga keturunan Yahudi dicurigai.

Kondisi itu seperti apa yang dikatakan Brockers, bahwa teori konspirasi cenderung membuat masalah yang rumit menjadi lebih sederhana. Karena itu teori konspirasi ideal sekali untuk dipakai sebagai propaganda atau agitasi. Apalagi ada kecenderungan untuk melempar masalah yang rumit dan menyengsarakan merupakan ciri perilaku manusia. Jadi wajar jika ada orang yang percaya bulat-bulat rumor yang beredar, terutama yang di luar jangkauan pemikirannya.

Gugur dan muncul
Teori konspirasi muncul begitu ada sedikit indikasi. Ketika mulai muncul kecurigaan atau ada sedikit saja suatu petunjuk, maka mulailah orang berteori. “Jangan-jangan karena ini… Jangan-jangan karena itu…”

Tapi sifat teori ini tidaklah abadi. Ketika suatu saat ditemukan bukti yang definitif, maka konspirasi akan berakhir. Masalahnya, mendapatkan bukti semacam ini bukan perkara gampang. Paling tidak butuh waktu panjang, bisa puluhan atau ratusan tahun. Itu pun bukan jaminan bahwa persoalannya akan menjadi terang benderang. Malah mungkin akan melahirkan teori konspirasi baru.

Semasa Orde Baru, masyarakat umumnya percaya, peristiwa G-30S 1965 terjadi karena Partai Komunis Indonesia (PKI) hendak merebut kekuasaan sebelum Bung Karno menjadi berhalangan tetap karena sakit. Setelah Soeharto tidak berkuasa, lebih dari 32 tahun kemudian, masyarakat mulai mendapat alternatif pemikiran bahwa PKI mungkin bukan satu-satunya pemain kala itu. Andai penjelasan resmi pemerintah adalah sebuah konspirasi, maka ia telah gugur, dan lahir teori konspirasi baru.

Kita tahu tidak mudah melaku verivikasi terhadap bukti-bukti adanya konspirasi. Kecuali mereka yang berada di lingkaran dalam pada saat peristiwa itu terjadi. Dalam peristiwa G-30S itu misalnya, mereka adalah para pelaku sejarah, yakni pihak politisi dan militer. Itu pun kalau mereka mau berbicara terus terang.

Jika kita menariknya dalam skala mikro, ilmu kriminologi menyatakan bahwa seorang pelaku kejahatan akan selalu berlaku rasional. Iqrak Sulhin menjelaskan, mulai dari penjahat white collar sampai tingkat “maling ayam”, pelaku kejahatan pasti akan berpikir agar kejahatan yang dilakukannya berlangsung lancar sesuai harapan. Ia juga akan berusaha menghindari dari penegak hukum dan membuat alibi agar tidak mudah terlacak.

Pelaku kejahatan membuat alibi agar dirinya berada sejauh mungkin dari peristiwa kejahatan. Misalnya, ia tidak akan melakukan pembunuhan sendiri, tapi menyewa orang bayaran. “Biasanya jarak antara pemesan dengan eksekutor ini sangat jauh,” kata Iqrak.

Orang yang mampu mendesain secara rapi dan menyusun alibi yang kuat umumnya terkait dengan kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan, seperti dikatakan Iqrak, tidak melulu soal jabatan atau kekuasaan politik, tapi juga soal uang. Bisa saja ia memiliki relasi ke penegak hukum atau kejahatan terorganisir. Dengan kekuasaannya, pelaku akan membuat dirinya aman. Bukan semata-mata karena intelektualitas. Dia bisa saja tidak pintar, tapi kekuasaannya besar.

Suara Tuhan?
Negara sebenarnya memiliki “penjelasan” resmi terhadap suatu permasalahan. Sistem peradilan misalnya, adalah suatu cara untuk menyelesaikan masalah hukum. Di sanalah berbagai fakta dan temuan diungkap kepada publik, berdasarkan hasil penyidikan aparat penegak hukum. Jika pengadilan memutuskan seorang terdakwa terbukti bersalah atau sebaliknya, maka demikianlah sikap negara terhadap kasus itu.

Sayangnya, pengadilan tidak selalu dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat. Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, misalnya, masyarakat meyakini ada suatu kekuatan besar yang berkonspirasi di balik peristiwa itu. Kenyataannya, pengadilan hanya dapat menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto, pelaku yang divonis 20 tahun penjara. Terdakwa lain dalam kasus ini, mantan pejabat di Badan Intelijen Negara, Muchdi PR, dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus Munir yang dianggap tidak tuntas membuat teori konspirasi tentang kasus ini terus hidup di masyarakat. Pengadilan dianggap tidak sejalan dengan dugaan-dugaan yang ada di benak mereka. Menurut Iqrak, ini bisa saja mengusik rasa keadilan di masyarakat. Rumor yang berkembang di masyarakat akan memunculkan beraneka teori konspirasi. Suara masyarakat dalam hal ini diwakili media massa, kalangan LSM, perguruan tinggi, dan elemen-elemen sosial lain.

Bisa jadi inilah wujud dari adagium vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. ” Jika ada suara-suara ketidakpuasan, merupakan suatu indikasi. „Negara harusnya merespons. Jika ada bukti baru maka harus membuka kasus itu kembali di pengadilan,” kata iqrak.

Penghakiman instan
Lahirnya teori-teori konspirasi bukanlah skenario terburuk. Wujud ketidakpuasan masyarakat bisa saja muncul dalam bentuk lain, yakni pembangkangan sipil (civil disobedience). Dalam bidang hukum, mereka bisa menjadi tidak percaya lagi terhadap perangkat yang ada, mulai dari polisi, kejaksaan, sampai pengadilan. Situasi ini pernah muncul di Indonesia, antara 1999-2003.
Iqrak Sulhin pernah mengadakan studi khusus tentang itu. “Mungkin kita ingat, antara tahun 1999-2003, reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan begitu anarkis dan masif. Mereka langsung dihakimi di jalanan, dikeroyok, dibakar dan sebagainya. Tanpa menunggu polisi untuk menanganinya,” katanya dengan nada prihatin.

Kondisi pembangkangan itu menurut Iqrak terjadi karena masyarakat skeptis terhadap perangkat hukum yang ada. Jika pelaku kejahatan diserahkan ke polisi, masyarakat menilai malah akan memberi keuntungan kepada polisi. Karena perkara kejahatan bisa diselesaikan di bawah tangan. Akibatnya masyarakat kemudian langsung memberi hukuman “instan”. Padahal hukum jalanan ini sangat menakutkan, karena sangat mungkin terjadi kesalahan.

Kini situasi itu sudah mereda. Namun ketidakpuasan masyarakat masih bisa ditemukan dalam letupan-letupan kecil. Seperti pemunculan grup “Tolak Mafia Peradilan”, “Gerakan 1.000.000 Facebookers Untuk Tempatkan Polri Di Bawah Depdagri”, atau “Selidiki Kasus Bail Out Bank Century” yang terdapat di Facebook, bisa menjadi indikasi adanya ketidakpuasan itu. Pihak penguasa, seperti kata Iqrak, jangan mengabaikan kenyataan ini.

Boleh Percaya Boleh Tidak
Dalam skala besar maupun kecil, dunia melahirkan jutaan teori konspirasi yang hidup dan berkembang di masyarakatnya. Kita seakan diberi pilihan, ingin percaya atau tidak. Boleh berpikir kritis asal tidak membuat bodoh diri sendiri.

Beberapa teori yang pernah hangat menjadi pembicaraan:

1. Pendaratan manusia di bulan
Sebagian kalangan meyakini pendaratan di bulan tidak benar-benar dilakukan oleh NASA. Pendaratan ini cuma sekadar film yang dibuat untuk menunjukan keunggulan AS atau Uni Soviet kala itu.

2. Tsunami 2004
Bencana gempa bumi dan tsunami, 26 Desember 2004, dipercayai sebagai akibat percobaan nuklir India. Akibatnya sebagian wilayah Asia Selatan dan Tenggara tersapu tsunami yang menewaskan ribuan orang.

3. Kematian Lady Di
Kematian istri Pangeran Charles ini dipercaya sebagai persekongkolan pihak dinas rahasia Inggris yang malu karena tokoh monarki mereka berpacaran.

4. Virus pembunuh
Virus-virus yang berjangkit di dunia saat ini, seperti HIV, SARS, flu burung, dsb’; diyakini sebagai buah dari percobaan senjata biologi

5. Serangan 11 September 2001
Peristiwa serangan teroris 9/11 dipercaya sebagian orang merupakan rekayasa dari Pemerintah AS sendiri untuk melegitimasi rencananya melakukan suatu operasi militer di wilayah Timur Tengah.

STRUKTUR KESEMPATAN DAN TAWURAN WARGA

Oleh Iqrak Sulhin

Terlalu kecil untuk dilihat sebagai konflik sosial, namun terlalu besar pula bila hanya disebut perkelahian. Mungkin begitulah gambaran tawuran antar warga yang akhir-akhir ini sering terjadi di Jakarta. Data Polda Metro yang dilansir sejumlah media memperlihatkan dari Januari hingga Juli tahun ini telah terjadi 36 tawuran di Jakarta. Sebagian besar terjadi di wilayah yang mengarah ke pusat Jakarta. Pertanyaannya tentu saja apa yang melatari munculnya tawuran tersebut? Untuk menjawabnya memang bukan perkara mudah karena diperlukan sebuah penelitian mendalam agar realitas persoalan tersebut dapat dijelaskan secara tepat. Oleh karenanya, perlu disampaikan sebelumnya bahwa tulisan ini sangat bersifat asumtif, dan dalam perspektif kriminologis.

Munculnya tawuran warga dapat dilihat dari beragam perspektif. Karakter Jakarta sebagai wilayah urban memang menyimpan potensi disorganisasi yang sangat besar. Mengingat sebagian wilayah telah dapat dikatakan berada dalam kondisi disorganisasi sosial. Jumlah penduduk yang meningkat cepat, tingginya benturan kepentingan, secara terbatas telah mempertegas sifat individualistik warga, meski berada dalam komunitas yang sama. Institusi sosial, seperti pendidikan, agama, bahkan keluarga tidak mampu menjadi variabel yang fasilitatif terhadap kebutuhan yang semakin beragam tersebut.

Namun demikian, satu aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami persoalan tawuran warga di perkotaan adalah struktur kesempatan. Aspek ini semakin terlihat pentingnya sebagai faktor determinan bila dikaitkan dengan realita lainnya bahwa tawuran sering paralel dengan terjadinya kejahatan. Maksud paralel dalam hal ini adalah adanya tawuran yang dipicu oleh individu atau kelompok yang juga terlibat dalam pelanggaran hukum lainnya. Beberapa kasus perkelahian masal di Jakarta sebelumnya melibatkan kelompok preman dan antar organisasi masyarakat.

Dalam pandangan Cloward dan Ohlin (1960), meskipun dalam konteks individual pelaku, munculnya pelanggaran hukum, seperti penyalahgunaan narkoba, property related crime, hingga kekerasan, tidak terlepas dari kondisi yang disebutnya sebagai struktur kesempatan yang berbeda. Penjelasan ini berangkat dari analisis umum (grand theoryi) dari Robert Merton tentang strain (tekanan sosial). Menurut Merton, pelanggaran hukum adalah sebuah mekanisme penyesuaian individu terhadap kondisi sosial. Masyarakat memiliki tujuan-tujuan legal serta menetapkan cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Namun cara yang legal ini bersifat kompetitif. Untuk dapat hidup dengan layak, individu perlu memiliki pekerjaan. Padahal untuk memperoleh pekerjaan diperlukan pendidikan yang juga memadai. Sederhananya, kejahatan adalah upaya mencapai tujuan-tujuan masyarakat dengan cara yang ilegal. Ingin punya uang untuk makan, melalui mencuri. Ini yang oleh Merton disebut dengan inovasi.

Persoalannya, kompetisi tersebut tidak hanya terjadi dalam ranah yang legal. Menurut Cloward dan Ohlin, kompetisi/perebutan dalam ranah atau cara-cara ilegal juga sangat ketat. Terlebih dalam struktur masyarakat perkotaan, serta wilayah dengan kesempatan ekonomi (seperti ketersediaan pekerjaan) yang sangat terbatas. Inilah mengapa angka kejahatan pada wilayah-wilayah tersebut relatif lebih tinggi. Khususnya kejahatan yang terkait dengan harta benda atau yang dilatari oleh kebutuhan ekonomi. Inilah yang kemudian menjelaskan munculnya premanisme dan perkelahian antar geng kriminal dalam memperebutkan lapak. Salah satu ciri khusus dalam struktur kesempatan ilegal ini adalah kecenderungan untuk berkelompok. Kemampuan untuk bertahan hidup dalam sub kultur kriminal akan jauh lebih terjamin bila individu bergabung dalam kelompok (geng atau organized crime).

Mengamati konflik warga terakhir-terakhir ini, beberapa argumen asumtif yang muncul adalah sebagai berikut. Pertama, tawuran warga bukan hanya persoalan karakter kolektif dari individu. Artinya, ini bukan hanya sebuah tindakan yang dipicu secara tidak disengaja, hanya karena satu orang melempar batu ke arah kerumunan yang lain. Kedua, perilaku kolektif umumnya juga dilatari oleh kondisi sosial (structural strain) yang menciptakan frustasi. Munculnya kekerasan massa pada periode 1999-2003 terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tangan dilatari oleh frustasi masyarakat terhadap inkonsistensi serta korupsi dalam penegakan hukum. Ketiga, kondisi frustasi sangat mungkin dialami oleh warga yang terlibat tawuran akhir-akhir ini. Mengingat wilayah yang menjadi tempat tawuran adalah bagian dari kota Jakarta yang diasumsikan memberi kesempatan terbatas dari segi ekonomi. Data Polda Metro memperlihatkan Jakarta Pusat adalah wilayah dengan frekuensi tertinggi.

Pada ranah legal-formal, Jakarta pada dasarnya tidak memberikan kesempatan bagi individu dengan pendidikan dan keterampilan yang terbatas. Sebagai pusat pemerintahan, pusat jasa dan bisnis lainnya, kesempatan kerja di Jakarta memiliki mekanisme seleksi secara alamiah. Sebagai alternatif, sebagian warga, termasuk pendatang, bergerak di sektor legal-informal, yang memang tidak terlalu memerlukan pendidikan tinggi. Namun karena modal dan keterampilan juga menentukan, sebagian lain yang tidak memiliki syarat-syarat tersebut masuk dalam ranah ilegal. Di sinilah persoalan berawal.

Secara asumtif, heterogenitas Jakarta secara etnis, juga tidak terlalu signifikan sebagai hal yang mampu memicu konflik. Oleh karenanya, tulisan ini berpandangan bahwa, maraknya tawuran antar warga akhir-akhir ini adalah eksplisitasi dari pertarungan dalam struktur kesempatan yang terbatas. Baik dalam ranah legal-informal, terlebih dalam ranah ilegal. Warga menjadi sangat mudah disulut bila sumber daya yang sudah terbatas didatangi pesaing yang baru. Ranah ilegal bahkan patut diperkirakan sebagai variabel yang determinan. Terutama yang pada dasarnya dipicu oleh pertarungan antar kelompok preman. Persaingan dalam struktur kesempatan ilegal yang terbatas di Jakarta dapat dikaitkan dengan terjadinya perebutan lahan parkir ilegal, persimpangan, perebutan wilayah untuk jatah uang keamanan, hingga perebutan wilayah operasi kejahatan seperti pemalakan, perampokan, dan pengedaran narkoba.

Oleh karenanya, upaya mengantisipasi persoalan tawuran warga ini perlu mempertimbangkan kemungkinan hubungannya dengan persoalan pertarungan di ranah legal-informal dan ilegal ibukota. Ranah yang diperebutkan tidak hanya oleh antar individu warga, namun juga oleh dunia premanisme dan bahkan oleh organisasi-organisasi yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Pemerintah daerah tetap perlu melakukan pendalaman persoalan untuk kebijakan antisipatif dengan melibatkan administrator pemerintahan terendah beserta tokoh masyarakat. Ini perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan tawuran warga tersebut terjadi karena tidak ada atau tersumbatnya upaya penyelesaian sengketa, konflik atau permusuhan secara adil. Beberapa wilayah dengan frekuensi tawuran tinggi telah menyimpan potensi sangat lama. Sederhananya, pecahnya konflik untuk kesekian kali patut dianggap sebagai bentuk tidak berjalannya institusi sosial setempat.

Di samping itu, upaya antisipasi perlu dilakukan tidak hanya dalam kerangka resolusi atau peacemaking . Namun juga dalam kerangka penegakan hukum. Pecahnya tawuran yang “dimotori” oleh kelompok preman terhadap kelompok preman yang lain, atau yang melibatkan benturan antar organisasi masyarakat adalah ranah penegakan hukum oleh kepolisian. Dalam konteks ini, keraguan aparat sangat mungkin memunculkan kecurigaan. Masyarakat telah lama dicekoki dengan rumor bahwa perebutan lapak di ibukota ini, baik yang dilakukan preman maupun organisasi masyarakat juga di-backing oleh aparat. Sangat mungkin publik-pun berasumsi ada pihak yang diuntungkan dari tawuran-tawuran yang jelas merugikan tersebut.