STRUKTUR KESEMPATAN DAN TAWURAN WARGA

Oleh Iqrak Sulhin

Terlalu kecil untuk dilihat sebagai konflik sosial, namun terlalu besar pula bila hanya disebut perkelahian. Mungkin begitulah gambaran tawuran antar warga yang akhir-akhir ini sering terjadi di Jakarta. Data Polda Metro yang dilansir sejumlah media memperlihatkan dari Januari hingga Juli tahun ini telah terjadi 36 tawuran di Jakarta. Sebagian besar terjadi di wilayah yang mengarah ke pusat Jakarta. Pertanyaannya tentu saja apa yang melatari munculnya tawuran tersebut? Untuk menjawabnya memang bukan perkara mudah karena diperlukan sebuah penelitian mendalam agar realitas persoalan tersebut dapat dijelaskan secara tepat. Oleh karenanya, perlu disampaikan sebelumnya bahwa tulisan ini sangat bersifat asumtif, dan dalam perspektif kriminologis.

Munculnya tawuran warga dapat dilihat dari beragam perspektif. Karakter Jakarta sebagai wilayah urban memang menyimpan potensi disorganisasi yang sangat besar. Mengingat sebagian wilayah telah dapat dikatakan berada dalam kondisi disorganisasi sosial. Jumlah penduduk yang meningkat cepat, tingginya benturan kepentingan, secara terbatas telah mempertegas sifat individualistik warga, meski berada dalam komunitas yang sama. Institusi sosial, seperti pendidikan, agama, bahkan keluarga tidak mampu menjadi variabel yang fasilitatif terhadap kebutuhan yang semakin beragam tersebut.

Namun demikian, satu aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami persoalan tawuran warga di perkotaan adalah struktur kesempatan. Aspek ini semakin terlihat pentingnya sebagai faktor determinan bila dikaitkan dengan realita lainnya bahwa tawuran sering paralel dengan terjadinya kejahatan. Maksud paralel dalam hal ini adalah adanya tawuran yang dipicu oleh individu atau kelompok yang juga terlibat dalam pelanggaran hukum lainnya. Beberapa kasus perkelahian masal di Jakarta sebelumnya melibatkan kelompok preman dan antar organisasi masyarakat.

Dalam pandangan Cloward dan Ohlin (1960), meskipun dalam konteks individual pelaku, munculnya pelanggaran hukum, seperti penyalahgunaan narkoba, property related crime, hingga kekerasan, tidak terlepas dari kondisi yang disebutnya sebagai struktur kesempatan yang berbeda. Penjelasan ini berangkat dari analisis umum (grand theoryi) dari Robert Merton tentang strain (tekanan sosial). Menurut Merton, pelanggaran hukum adalah sebuah mekanisme penyesuaian individu terhadap kondisi sosial. Masyarakat memiliki tujuan-tujuan legal serta menetapkan cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Namun cara yang legal ini bersifat kompetitif. Untuk dapat hidup dengan layak, individu perlu memiliki pekerjaan. Padahal untuk memperoleh pekerjaan diperlukan pendidikan yang juga memadai. Sederhananya, kejahatan adalah upaya mencapai tujuan-tujuan masyarakat dengan cara yang ilegal. Ingin punya uang untuk makan, melalui mencuri. Ini yang oleh Merton disebut dengan inovasi.

Persoalannya, kompetisi tersebut tidak hanya terjadi dalam ranah yang legal. Menurut Cloward dan Ohlin, kompetisi/perebutan dalam ranah atau cara-cara ilegal juga sangat ketat. Terlebih dalam struktur masyarakat perkotaan, serta wilayah dengan kesempatan ekonomi (seperti ketersediaan pekerjaan) yang sangat terbatas. Inilah mengapa angka kejahatan pada wilayah-wilayah tersebut relatif lebih tinggi. Khususnya kejahatan yang terkait dengan harta benda atau yang dilatari oleh kebutuhan ekonomi. Inilah yang kemudian menjelaskan munculnya premanisme dan perkelahian antar geng kriminal dalam memperebutkan lapak. Salah satu ciri khusus dalam struktur kesempatan ilegal ini adalah kecenderungan untuk berkelompok. Kemampuan untuk bertahan hidup dalam sub kultur kriminal akan jauh lebih terjamin bila individu bergabung dalam kelompok (geng atau organized crime).

Mengamati konflik warga terakhir-terakhir ini, beberapa argumen asumtif yang muncul adalah sebagai berikut. Pertama, tawuran warga bukan hanya persoalan karakter kolektif dari individu. Artinya, ini bukan hanya sebuah tindakan yang dipicu secara tidak disengaja, hanya karena satu orang melempar batu ke arah kerumunan yang lain. Kedua, perilaku kolektif umumnya juga dilatari oleh kondisi sosial (structural strain) yang menciptakan frustasi. Munculnya kekerasan massa pada periode 1999-2003 terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tangan dilatari oleh frustasi masyarakat terhadap inkonsistensi serta korupsi dalam penegakan hukum. Ketiga, kondisi frustasi sangat mungkin dialami oleh warga yang terlibat tawuran akhir-akhir ini. Mengingat wilayah yang menjadi tempat tawuran adalah bagian dari kota Jakarta yang diasumsikan memberi kesempatan terbatas dari segi ekonomi. Data Polda Metro memperlihatkan Jakarta Pusat adalah wilayah dengan frekuensi tertinggi.

Pada ranah legal-formal, Jakarta pada dasarnya tidak memberikan kesempatan bagi individu dengan pendidikan dan keterampilan yang terbatas. Sebagai pusat pemerintahan, pusat jasa dan bisnis lainnya, kesempatan kerja di Jakarta memiliki mekanisme seleksi secara alamiah. Sebagai alternatif, sebagian warga, termasuk pendatang, bergerak di sektor legal-informal, yang memang tidak terlalu memerlukan pendidikan tinggi. Namun karena modal dan keterampilan juga menentukan, sebagian lain yang tidak memiliki syarat-syarat tersebut masuk dalam ranah ilegal. Di sinilah persoalan berawal.

Secara asumtif, heterogenitas Jakarta secara etnis, juga tidak terlalu signifikan sebagai hal yang mampu memicu konflik. Oleh karenanya, tulisan ini berpandangan bahwa, maraknya tawuran antar warga akhir-akhir ini adalah eksplisitasi dari pertarungan dalam struktur kesempatan yang terbatas. Baik dalam ranah legal-informal, terlebih dalam ranah ilegal. Warga menjadi sangat mudah disulut bila sumber daya yang sudah terbatas didatangi pesaing yang baru. Ranah ilegal bahkan patut diperkirakan sebagai variabel yang determinan. Terutama yang pada dasarnya dipicu oleh pertarungan antar kelompok preman. Persaingan dalam struktur kesempatan ilegal yang terbatas di Jakarta dapat dikaitkan dengan terjadinya perebutan lahan parkir ilegal, persimpangan, perebutan wilayah untuk jatah uang keamanan, hingga perebutan wilayah operasi kejahatan seperti pemalakan, perampokan, dan pengedaran narkoba.

Oleh karenanya, upaya mengantisipasi persoalan tawuran warga ini perlu mempertimbangkan kemungkinan hubungannya dengan persoalan pertarungan di ranah legal-informal dan ilegal ibukota. Ranah yang diperebutkan tidak hanya oleh antar individu warga, namun juga oleh dunia premanisme dan bahkan oleh organisasi-organisasi yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Pemerintah daerah tetap perlu melakukan pendalaman persoalan untuk kebijakan antisipatif dengan melibatkan administrator pemerintahan terendah beserta tokoh masyarakat. Ini perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan tawuran warga tersebut terjadi karena tidak ada atau tersumbatnya upaya penyelesaian sengketa, konflik atau permusuhan secara adil. Beberapa wilayah dengan frekuensi tawuran tinggi telah menyimpan potensi sangat lama. Sederhananya, pecahnya konflik untuk kesekian kali patut dianggap sebagai bentuk tidak berjalannya institusi sosial setempat.

Di samping itu, upaya antisipasi perlu dilakukan tidak hanya dalam kerangka resolusi atau peacemaking . Namun juga dalam kerangka penegakan hukum. Pecahnya tawuran yang “dimotori” oleh kelompok preman terhadap kelompok preman yang lain, atau yang melibatkan benturan antar organisasi masyarakat adalah ranah penegakan hukum oleh kepolisian. Dalam konteks ini, keraguan aparat sangat mungkin memunculkan kecurigaan. Masyarakat telah lama dicekoki dengan rumor bahwa perebutan lapak di ibukota ini, baik yang dilakukan preman maupun organisasi masyarakat juga di-backing oleh aparat. Sangat mungkin publik-pun berasumsi ada pihak yang diuntungkan dari tawuran-tawuran yang jelas merugikan tersebut.